sekilas senja

Saya sangat menyukai senja. Ah, tidak. Saya terlalu mencintai senja. Saya banyak memikirkan langit jingga kala senja ditaburi kumpulan burung-burung yang membentuk formasi hendak pulang ke sarang. Banyak pula layang-layang berpesiar di luasnya langit dengan berbagai warna, ukuran dan bentuk. Ah semuanya itu mengingatkan saya pada masa lampau. Saat saya belum sibuk, saat semua manusia belum menjadi singa, saat keluarga belum mencicipi takdir ini. Semua sudah lewat, semua sudah terlambat. Saya juga telah lama tak menengok senja. Saya ingin sekali menjenguknya serta merta menanyakan apa kabarnya. Aku tahu dia sakit dan merintih sakit akibat terlalu banyak menjadi saksi dalam persidangan di bumi. Aku tahu dia bergumam kaku tetapi aku belum sempat untuk menjenguknya. Aku hanya bisa merindukannya sembari memelototi layar laptop yang bersinar terang keputihan.

Ada seorang teman lama saya bernama Teguh Firmansyah, dia menulis kalimat di status fesbuknya.

““aku suka angin semilir.. aku suka pepohonan ikut begoyang.. aku suka para bocah bergurau disana.. aku suka langit mulai kuning teduh.. aku menyukai itu semua.. karena itu aku suka dengan senja...” (1 november 2009. 4.59 pm)

Tak sengaja juga saya melihat status tersebut tatkala saya juga sedang khusyuk dengan fesbuk. Heheh. Kalimat itupun secara cepat langsung masuk ke dalam pikiran saya dan menempel hingga kini. Barangkali lem nya terlalu kuat, jauh melebihi power glue hahaha. Lalu, saya mengomentari statusnya:

“ya ya ya eksotika senja. tak banyak orang dapat merasakannya. semua semata sibuk berbenah menghadapi malam sehingga senja sulit dijamah. sudah lama saya tidak bertegur sapa dengan senja serta merta menanyakan apa kabarnya. entah kapan momentum itu datang”

Saat menulis kalimat-kalimat tersebut, saya benar-benar merindukan senja. Dulu saya sering sekali bercengkerama bersama senja hingga adzan maghrib menutup perbincangan kami. Yah, perbincangan bukan melalui mulut, bukan melalui tulisan, tetapi lebih daripada itu, melalui hati yang mengirimkan tulisan2 berupa kata2 yang disampaikan angin sebagai kurirnya. Lalu kami berbincang melalui kesunyian dan penghayatan. Oh, betapa istimewanya senja saya perlakukan kala itu. Kala semuanya masih perawan, kala semuanya masih jujur, kala dunia masih berperangai baik, kala alam belum diperkosa, kala…kala…persetan dengan kala! Kala saya belum menjadi rakus!

Teguh firmansyah pun membalas komentar saya sebagai berikut:

“sisi arogansi manusia yang membuatnya sering lupa..
melihat dengan sebelah mata seolah senja tidak bermakna..
kesombongan akan kekuasaannya atas dunia yang membuatnya tidak menyadari bahwa dirinya lemah..
karena kesalahan yang sering dilakukan manusia tanpa sadar adalah "bahwa manusia terlalu angkuh untuk mengakui bahwa dirinya lemah. maka hancurkanlah benteng keangkuhan anda dan biarkan senja menjamahi anda dengan leluasa..serta rasakanlah sensasinya. Salam.”

Saat saya tersadar bahwa saya terlalu rakus ingin memakan ini dan itu. Saya lupa cara bagaimana memperlakukan senja dengan halus. Saya lupa bagaimana bertatap muka dan berdialog dengan sang senja. Saya lupa. Saya lupa. Di luar sana tak banyak orang yang mampu berdialog dengan senja manakala semuanya sibuk menjadi macan. Hari ini saya ingin kembali mengenang sisa-sisa keelokan senja yang masih hilir mudik setiap sore hari, namun terlupakan. Padahal dia adalah yang paling dekat dengan kita, paling kelihatan, namun seketika itu juga terlihat jauh dan tidak kelihatan. Barangkali senja sekarang sudah pincang, jalannya sudah limbung. Banyak tambalan plester di sana sini. Dia sebagai saksi “hidup” sekaligu saksi “mati” dari semua likaliku prahara di muka bumi ini. Sayang, senja tak bisa nasehat melalui bahasa kita (yang riil) sebagai manusia. Ah, agaknya jingga senja mulai menggumpal dan menebal semakin kelam semakin muram. Semakin gelap warnanya hingga menjadi merah, merah, merah, merah tua, meraah tua, hingga semakin lama semakin menghitam. Sekali lagi, maaf senja, aku belom bisa menjengukmu dengan ikhlas.

0 komentar:

Posting Komentar